Akan kuceritakan tentang sebuah kisah persahabatan nan indah. Persahabatan yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan. Persahabatan yang tercipta karena-Nya dan untuk-Nya semata. Persahabatan yang kuharap tak hanya berakhir di dunia, tetapi kekal hingga ke surga.
Kisah itu bermula saat aku menduduki kelas dua SMP di sebuah boarding school di Bogor. Aku menyebutnya sebuah penjara suci, sebab di sana aku merasa dipenjarakan dan dijaga dari hal-hal yang dapat menjauhkanku dari Islam. Ya, sebuah pesantren kecil yang memiliki banyak kenangan. Kenangan saat pertama kali aku memadu cinta dengan Sang Maha Pemilik Segala.
Aku memiliki seorang sahabat dengan karakter yang sangat berbeda denganku. Ia koleris, sementara aku melankolis. Ia berjiwa pemimpin, sementara aku pemikir. Ia sangat acak dalam segala hal, sementara aku sangat teratur, rapi, dan terjadwal. Begitulah kami saat dahulu. Saat pertama kali mengenal satu sama lain dalam diskusi tak berujung selesai shalat di masjid pesantren.
Aku kagum padanya. Ia sangat ambisius terhadap mimpi-mimpinya. Berkemauan keras mewujudkan segala cita-citanya. Ia selalu unggul di semua bidang. Hafalannya banyak, akademiknya bagus, dan ia adalah siswa teladan dan terbaik lulusan SMPku. Tidak hanya itu, ia selalu mencari pemecahan praktis dari setiap masalah, dan bergerak cepat dalam mengorganisasikan sesuatu. Ia selalu terdorong dengan tantangan, tantangan, dan tantangan..
Entah mengapa.. aku merasa Allah selalu menyamakan kami dalam banyak hal. Dulu kami pernah memiliki keinginan untuk melanjutkan studi SMA ke sebuah Madrasah Aliyah di Kuningan, MA Husnul Khatimah. Kami pernah bercita-cita untuk kuliah di Al-Azhar Kairo untuk mendalami ilmu Islam secara kaaffah. Namun saat segala sesuatunya telah tersusun rapi, orang tua kami berubah pikiran dan menyuruh kami untuk melanjutkan studi ke SMA negeri. Akhirnya kami tak bisa mengelak, sebab alasannya sangat logis.
“Biar kamu tau kondisi ummat yang real seperti apa. Kan kalo di pesantren lingkungannya homogen. Tapi kalo di SMA negeri, kamu bisa ketemu sama banyak orang yang beda-beda karakternya. Ladang da’wahnya makin luas, makin banyak pahala juga insya Allah,” begitulah petikan kalimat Abi yang membuatku tak bisa mengelak keinginannya.
Singkat cerita, akhirnya kami sama-sama melanjutkan studi kami di SMA negeri, aku di SMA Negeri 14 Jakarta, dan dia di SMA Negeri 34 Jakarta.
Meski terdapat perubahan pada life-plan kami, life must go on tentunya. Akhirnya, kami sama-sama bertekad, melakukan yang terbaik yang bisa kami lakukan untuk din ini. Salah satu tekad kami yang selalu kuingat sampai sekarang adalah, kami ingin membuktikan pada dunia, pada banyak orang, bahwa muslimah itu prestatif dalam segala hal. Ia tak hanya memiliki kepandaian dalam hal agamanya, tetapi ia juga cerdas melalui karya-karya nyata prestasinya.
Selama 3 tahun masa pengembaraan, kami menemukan banyak hikmah yang terserak. Salah satunya adalah bahwa Allah memeberikan skenario terbaik yang sangat spesifik pada setiap insan. Bahwa di balik rencana-rencana hidup yang sudah kita tuliskan, Allah memiliki rencana yang jauh lebih sempurna dan indah..
Sungguh berat memang, menjalani hari-hari selama 3 tahun dengan penuh perjuangan. 3 tahun yang penuh suka dan duka. Saat kami sama-sama ditunjuk sebagai Koordinator Akhwat ROHIS di SMA kami. Tentu saja itu merupakan amanah yang tak mudah. Bertanggung jawab atas kelangsungan da’wah kemuslimahan di sekolah kami. Menjadi teladan sekaligus figur utama sesosok perempuan yang bisa menjadi contoh dan panutan bagi seluruh siswi muslimah di sekolah. Namun ternyata, kami menemukan banyak hal yang indah di setiap tapak perjuangan kami.. Melalui da’wah kemuslimahan, kami diberi kesempatan untuk mencitrakan bahwa muslimah adalah sesosok wanita yang didambakan surga.. Melalui jalan ini tentunya, kami dikenalkan dengan sebuah kata yang kedahsyatannya mampu mengguncang dunia: UKHUWWAH.
1 tahun kepengurusan membuat kami sering bercerita satu sama lain tentang bagaimana kondisi mad’u di masing-masing sekolah. Termasuk juga saling berbagi cerita tentang platform atau blue print ROHIS sekolah kami. Atau saling menyarankan, memberi kritik yang membangun tentang konsep syiar, kaderisasi, pembinaan, kementoringan dan banyak hal lainnya. Tentang suka duka perjuangan kami dalam mengemban amanah da’wah..
Tak hanya itu, kami juga sangat suka bercerita tentang kondisi akademik kami. Fastabiqul khairat dalam menggapai prestasi di kelas, atau tentang kompetisi-kompetisi berskala nasional yang kami ikuti. Hingga suatu saat, meski Allah memisahkan kami di sekolah yang berbeda, Allah mempertemukan kami dalam berbagai kompetisi yang kami ikuti.
Sungguh di luar dugaan, saat Allah mengizinkan kami bertatap wajah, saling berpeluk hangat dalam indahnya ukhuwwah di sebuah kompetisi MHQ tingkat provinsi yang diadakan DIKTI pada saat kami menduduki kelas 2 SMA. Aku mewakili Jakarta Timur dan ia mewakili Jakarta Selatan. Ketika itu, gemuruh rindu menyelimuti hati kami, setelah sekian lama tak jumpa karena kesibukan yang tak kunjung selesai..
Juga saat kami dipertemukan dalam rangka Olimpiade Sains SMA tingkat provinsi. Lagi-lagi aku mewakili Jakarta Timur untuk bidang Kimia, dan ia mewakili Jakarta Selatan untuk bidang Biologi. Berjuang bersama, mengikhlaskan niat hanya karena Allah semata. Namun, Allah belum berkehendak mengizinkan kami melanjutkan ke tahap yang lebih tinggi.
Dan kini.. kami ditakdirkan untuk melanjutkan kuliah di daerah yang sama. Bandung-Jatinangor. Tidak jauh bukan? Kurang lebih, butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk mengunjunginya di sana. Dan tahukan kalian? Kami menggeluti bidang keilmuan yang beririsan satu sama lain. Mikrobiologi dan Kedokteran Umum. Sesuatu yang berdekatan bukan? 🙂
Ah, apa aku saja yang menyama-nyamakan? (tidak menemukan diksi yang tepat) Sampai hal yang kecil seperti ini menjadi sesuatu yang istimewa?
Aku hanya berfikir, di antara triliyunan orang di dunia, di antara milyaran perempuan di dunia, kami memiliki banyak kesamaan dan muyul (kecenderungan). Kami selalu dipertemukan dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Hingga bertambahlah kecintaan dan kerinduaan kami pada Sang Rabbul ‘izzati..
Ah betapa, dan mengapa Allah seringkali menunjukkan ke-Mahabesaran-Nya. Dengan segala kejutan-kejutan yang ia berikan pada kami, Ia hendak menunjukkan betapa indahnya ukhuwwah karena-Nya. Ukhuwwah yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan pada-Nya..
Di saat aku memperjuangkan impianku untuk berkuliah di jurusan Teknik Kimia, ada saja cara Allah yang membuatku beralih ke jurusan yang bisa membuat kami saling beririsan satu sama lain. Entah saat aku gagal menembus PMDK UI atau USM I ITB, tetapi ternyata Allah memang menghendaki kami bergelut dalam keilmuan yang tak jauh berbeda.Yang pada akhirnya, aku melanjutkan studiku di SITH ITB.
Begitu juga ketika ia memperjuangkan impiannya. Saat beberapa PTN menolaknya untuk menjadikannya salah satu mahasiswi kedokteran, pilihan keduanya selalu menjadi hasil jerih payahnya. Entah saat mencoba SIMAK UI dengan pilihan pertama FK dan kedua Biologi, juga saat UTUL UGM dengan pilihan yang sama, Allah menghendakinya untuk lolos di pilihan kedua. Namun siapa sangka? Sungguh benar janji Allah itu. Saat SNMPTN menjadi kesempatan terakhirnya menggapai mimpi, Allah menghendakinya lolos di FK Unpad.
Ah ya Allah. Entah harus seperti apalagi aku mengungkap syukurku. Telalu banyak nikmat-Mu, sementara terlalu sedikit penghambaanku.. Ighfirli Robbi..
Ya. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sebaik ia. Menurutku, ia adalah sesosok cahaya yang mampu menyinari dunia karena akhlaqnya yang indah. Seperti namanya, Nur ‘Afifah. Sesosok cahaya yang selalu menjaga kehormatannya. Sesosok perempuan yang mampu menjadi teladan bagiku dalam beramal. Seorang sahabat yang mampu mengingatkanku ketika lengah, menguatkanku saat lelah, atau menjadi motivator dalam menggapai jannah..
Suatu saat, aku pernah mentadabburi sebuah hadist yang kuhafal saat SMP. Bunyinya seperrti ini: “Ashshalaatu nuurun, washshadaqatu burhaanun washshabru dhiyaa’un wal qur-aanun hujjatun laka aw ‘alaika..” yang artinya: “Sholat adalah cahaya, dan sedekah adalah bukti. Sabar adalah sinar yang terik, dan al-Qur-an adalah hujjah yang akan membelamu atau (boleh jadi) melawanmu..”
Nur: Cahaya. Shabr: Sabar. Dan kesabaran adalah sinar. Bukankah begitu Rasulullah menyatakan dalam haditsnya? Ah, bahwa kami memang akan selalu ditakdirkan bersama insya’ Allah. Bahwa cahaya dan sinar memang akan selalu bersama. Ia cahaya, dan aku sinar. Seperti matahari yang tak pernah henti memberi manfaat pada dunia. Ia tak pernah enggan tuk membagi kehangatan kasihnya..
Kuharap, Allah takkan pernah membiarkan ukhuwwah kami terputus di sini. Kuharap, surga dapat menjadi terminal akhir kami dalam menapaki jalan perjuangan. Kuharap, kami bisa bercengkrama bersama di taman surga, bernostalgia tentang amalan-amalan kami di dunia.. Kuharap, Ia izinkan kami bersenda gurau bersama ummul mu’miniin kelak di pinggiran sungai salsabila. Kuharap, hati-hati ini akan selalu terikat erat dalam lingkup cinta dan kasih-Nya yang abadi..
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu..
Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar..
Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu..
Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong..”
Bandung, 26 Februari 2012
Di sepertiga malam-Nya yang syahdu,
Saat senyum cerianya membuatku rindu..